Lubang Resapan Biopori (LBR)
Apa itu lubang resapan biopori? Lubang resapan biopori adalah metode resapan air yang ditujukan untuk mengatasi banjir dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah. Metode ini dicetuskan oleh Dr. Kamir R Brata, salah satu peneliti dari Institut Pertanian Bogor.
Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah. Teknologi sederhana ini kemudian disebut dengan nama biopori.
Teknologi 'lubang serapan biopori' diawali dengan pembuatan lubang sedalam 80 cm dan diameter 10 cm. Langkah selanjutnya adalah memasukkan sampah lapuk dua hingga tiga kilogram, tergantung jenis sampah, ke dalam lubang tersebut.
"Sampah-sampah itu kemudian diurai oleh organisme pengurai sehingga terbentuk pori-pori," katanya dan menambahkan dDengan cara ini, air hujan yang turun tidak membentuk aliran permukaan, melainkan meresap ke dalam tanah melalui pori-pori.
Dinamakan teknologi biopori atau 'mulsa vertikal', karena teknologi ini mengandalkan jasa hewan-hewan tanah seperti cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah, dengan bantuan sampah organik, sehingga air bisa terserap dan struktur tanah diperbaiki.
Cara ini disamping membantu mengatasi masalah sampah perkotaan, juga diharapkan menjadi solusi atas bencana banjir yang selalu melanda Jakarta," katanya.
Di kawasan perumahan yang 100% kedap air, teknologi lubang serapan biopori ini diterapkan dengan membuat lubang di saluran air ataupun di areal yang sudah terlanjur diperkeras dengan semen dengan alat bor.
Kemudian ke dalam lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm atau maksimal satu meter tersebut, dimasukkan sampah organik yang bisa berupa daun atau ranting kering serta sampah rumahtangga.
Keberadaan sampah organik ini berfungsi untuk membantu menghidupkan cacing tanah dan rayap yang nantinya akan membuat biopori.
Di saluran air, lubang serapan ini bisa dibuat setiap satu meter dan pada ujung saluran dibuat bendungan sehingga air tidak lagi mengalir ke hilir namun diserap sebanyak-banyaknya ke dalam lubang.
"Tidak perlu khawatir sampah organik akan meluap karena air akan begitu cepat terserap ke dalam lubang. Begitu pun tidak ada bau yang ditimbulkan dari sampah karena terjadi proses pembusukan secara organik,"
Penyerapan air ini juga tidak akan merusak pondasi bangunan karena air meresap secara merata.
Teknologi ini juga bisa diterapkan di rumah-rumah yang memiliki lahan terbuka. "Saya sudah membuktikan, dengan membuat lubang-lubang semacam ini di dekat pohon, pohon menjadi semakin subur,
Sementara itu, untuk kawasan persawahan di lahan miring, sebaiknya ditanami dengan padi gogo yang tidak membutuhkan banyak air.
Air justru diserapkan ke dalam tanah dengan cara diberi serasah di dasar saluran atau dengan membuat cekungan berisi serasah. Prinsip ini sama dengan lubang serapan yang diisi dengan sampah organik.
"Jangan khawatir ada tikus atau ular karena cekungan ini akan selalu tergenang air.
Banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana, ini karena terjadi kerusakan lingkungan, tanaman pohon jadi tanaman perumahan, perkantoran atau mal, hutan-hutan menjadi gundul.
Ada teknologi tepat guna karya Ir. Kamir R brata SM, staf Departemen Ilmu Tanah dan sumber daya lahan Fakultas Pertanian IPB. Teknologi tersebut bernama ‘lubang serapan biopori’. Teknologi ini bisa diterapkan dimana saja. Prinsip teknologi ini adalah menghindarkan air hujan mengalir ke daerah yang lebih rendah dan membiarkannya terserap ke dalam tanah melalui lubang resapan tadi. Dinamakan teknologi biopori/ mulsa vertikal karena mengandalkan jasa hewan-hewan tanah seperti cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah dengan bantuan sampah organik
Bagaimana cara mengaplikasikan teknologi tersebut ? Mudah kok…
Langkah-langkahnya yaitu :
1. Buat lubang sedalam 80 cm dengan diameter 10 cm, kedalaman lubang maksimal 100 cm. Kalau kedalamannya lebih dari 100 cm maka cacing-cacing dan organisme pengurai lainnya akan kekurangan oksigen, sehingga tidak dapat bekerja dengan maksimal.
2. Setelah lubang jadi, masukkan sampah organik seperti daun dan ranting kering serta sampah rumah tangga yang dapat terurai
Dari sampah organik itu nantinya akan hidup cacing tanah dan rayap yang akhirnya membuat biopori. Pada saluran air, lubang serapan bisa dibuat setiap 100 cm dan pada ujung dibuat bendungan.
Ayo kita terapkan teknologi ini di rumah kita sendiri, jangan menunggu pemerintah untuk mengatasi masalah banjir, jangan menyalahkan siapa-siapa karena semua ini adalah salah kita sendiri bila terjadi banjir atau bencana tanah longsor.
Dalam perencanaan sebuah bangunan, seorang arsitek selalu dihadapkan pada masalah pengolahan air hujan. Air hujan jamaknya dialirkan melalui saluran-saluran (vertikal maupun horizontal) yang ada di dalam lahan sebelum diteruskan ke sistem drainase kota.
Pengaliran dengan mengandalkan sistem drainae kota ini terbukti sudah tidak efektif dalam mengelola air hujan. Banjir besar di Jakarta tahun 2002 dan 2007 adalah bukti betapa tidak lemahnya sistem drainase kota menghadapi air hujan. Terlepas dari tingginya curah hujan, sistem drainae kebanyakan kota di Indonesia memang sudah tidak memadai karena semrawutnya tata ruang. Selain itu, kebiasaan hidup masyarakat membuang sampah ke sungai dan tinggal di bantaran kali juga menyebabkan kurang berartinya sistem drainase dalam menghadapi limpahan air hujan.
Salah satu alternatif pengolahan air hujan ditemukan oleh Ir. Kamir R. Brata, Msc, seorang Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB). Kamir menemukan lubang resapan biopori yang meningkatkan daya resapan air hujan dengan memanfaatkan peran aktifitas fauna tanah dan akar tanaman.
Lubang resapan biopori adalah lubang silindris berdiameter 10-30 cm yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan kedalaman sekitar 100 cm. Dalam kasus tanah dengan permukaan air tanah dangkal, lubang biopori dibuat tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang kemudian diisi dengan sampah organik untuk memicu terbentuknya biopori. Biopori adalah pori-pori berbentuk lubang (terowongan kecil) yang dibuat oleh aktifitas fauna tanah atau akar tanaman.
Kehadiran terowongan/lubang-lubang biopori kecil tersebut secara langsung akan menambah bidang resapan air. Sebagai contoh, bila lubang dibuat dengan diameter 10 cm dan dengan kedalaman 100 cm, maka luas bidang resapan akan bertambah sebanyak 3140 cm² atau hampir 1/3 m². Sementara, suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diamater 10 cm, yang semula mempunyai bidang resapan 78.5 cm² setelah dibuat lubang resapan biopori dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi 3.218 cm².
Lubang biopori disebar dalam jarak tertentu sesuai dengan luas lahan yang hendak dicover. Selain itu, biopori juga bisa diterapkan diselokan yang seluruhnya tertutup semen. Dibutuhkan dua sampai tiga kilogram sampah lapuk untuk sebuah lubang biopori. Agar orang yang menginjaknya tidak terperosok, lubang ditutup dengan kawat jaring.
Selain memperbesar bidang resapan melalui aktivitas organisme tanah, lubang resapan biopori juga memiliki dapat mengubah sampah organik menjadi kompos. Lubang resapan biopori “diaktifkan” dengan memberikan sampah organik didalamnya. Sampah inilah yang akan menjadi sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan kegiatan melalui proses dekomposisi. Sampah yang telah didekompoisi ini dikenal sebagai kompos. Melalui proses seperti itu maka lubang resapan biopori akan berfungsi sekaligus sebagai “pabrik” pembuat kompos. Kompos dapat dipanen pada setiap periode tertentu dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada berbagai jenis tanaman.
Sampai saat ini belum ditemukan apa yang menjadi kelemahan lubang biopori itu. Sampah organik yang ada pada lubang biopori dirasa tidak akan mengganggu karena cepat diuraikan. Sampah akan sulit diuraikan jika lubang resapan terlalu besar dan tidak disebar. Karena itu sampah harus disebarkan, jangan hanya berada disatu tempat. Hasilnya itu juga bisa dijadikan kompos.
Memakai lubang resapan biopori adalah tampaknya merupakan langkah yang bijak dalam merencanakan sebuah lingkungan binaan. Arsitek sebagai perencana tidak hanya memikirkan kepentingan bangunan yang dirancangannya, tetapi juga memikirkan bagaimana rancangannya itu dapat mandiri dan tidak menambah beban sistem drainase kota